Bagi penangkar burung perkutut, telur menjadi salah
satu modal utama dalam usahanya. Sebab dari telurlah, penangkar bisa memperoleh
piyik-piyik baru, kemudian dipelihara sampai remaja atau dewasa untuk dijual. Namun
karena beberapa faktor, tidak semua telur bisa menetas. Untuk meningkatkan
keberhasilan usahanya, penting bagi penangkar perkutut untuk mengetahui faktor
penyebab telur tidak menetas.
Faktor
pertama adalah umur kedua induknya, baik induk jantan maupun induk betina.
Dalam dunia peternakan, termasuk perburungan, dikenal istilah umur dewasa
kelamin. Istilah ini dapat diartikan sebagai umur di mana burung mencapai
kematangan kelamin. Saat itulah burung betina sudah bisa menghasilkan sel-sel
telur di dalam ovarium yang akan membesar dan bercangkang di uterus, sampai akhirnya
keluar menjadi telur.
Sedangkan burung jantan dikatakan mencapai dewasa
kelamin ketika ia sudah bisa menghasilkan spermatozoa (sel-sel sperma), yang
akan disemprotkan ke sel-sel telur saat mengawini betina. Jika dikonotasikan pada
manusia, umur dewasa kelamin pada burung adalah masa akil baliq pada manusia.
Remaja putri mencapai akil baliq jika sudah mendapatkan haid, sedangkan remaja
putra sudah mengalami mimpi basah.
Secara biologis, perkutut betina dan jantan sudah
bisa kawin dan menghasilkan anakan sejak keduanya mencapai umur dewasa kelamin.
Persoalannya, sebagaimana pada manusia, kualitas anakan menjadi kurang baik
jika kedua orangtuanya kawin terlalu muda.
Itu sebabnya, perlu manajemen perkawinan pada
penangkaran perkutut agar telur bisa menetas dengan baik, dan piyik-piyik yang
dihasilkan pun berkualitas. Dewasa kelamin pada perkutut terjadi pada umur 6
bulan, tetapi idealnya dikawinkan jika umurnya sudah satu tahun atau lebih.
Jika dikawinkan terlalu muda, potensi kegagalan
penetasan telur menjadi lebih besar, terutama karena material telur yang
dihasilkan organ reproduksi memang belum matang secara sempurna. Di masa
peralihan dari remaja ke dewasa, perkutut jantan maupun betina juga terlihat
lebih agresif, yang bisa membahayakan keamanan dan keselamatan telur-telur yang
dieraminya.
Faktor kedua
adalah telur yang infertil. Yang dimaksud telur infertil adalah telur yang keluar
dari kloaka induk betina, tetapi tidak dibuahi oleh sel sperma induk jantan.
Misalnya induk jantan mengawini induk betina pukul 08.00, dan ini merupakan perkawinan
pertama pasangan tersebut. Satu jam kemudian, induk betina bertelur. Telur yang
dihasilkan ini jelas tidak dibuahi sel sperma, karena sel telur sudah terbentuk
24-25 jam sebelumnya. Perlu diketahui, perkutut betina yang tidak dikawini
pejantan pun tetap bisa bertelur, sepanjang pakan yang dikonsumsinya bergizi.
Faktor ketiga, induk jantan
atau induk betina, atau malah keduanya, mengindap penyakit yang tidak terdeteksi
dengan baik. Dalam beberapa kasus, perkutut yang mengalami berak kapur secara
fisik terlihat sehat. Jika kita jeli, burung ini pasti menghasilkan kotoran
berwarna putih. Ketika induk sakit mengerami telurnya, bakteri penyakit berak
kapur bisa menyerang telur sehingga embrio terinfeksi dan mati di dalam telur.
Faktor keempat,
telur berasal dari pasangan perkutut yang memiliki hubungan darah terlalu
dekat. Dalam teori genetika, perkawinan antara dua individu yang masih sedarah
sangat tak dianjurkan, karena keduanya memiliki hubungan sedarah. Dampak yang
bisa terjadi antara lain embrio atau calon anak yang ada di dalam telur
cenderung lemah, bahkan sering mati terlebih dulu sebelum telur menetas.
Hanya saja, persoalan ini kerap menjadi perdebatan
di kalangan penangkar perkutut. Pasalnya, beberapa penangkar justru menganggap perkawinan
sedarah bisa menghasilkan anakan berkualitas. Beberapa penangkar perkutut di
Thailand pun sudah mempraktikkan hal ini. Jika ada pakar yang bisa menjembatani perdebatan
ini, silakan berkomentar untuk mencerahkan kita semua.
Faktor
kelima, bentuk sarang yang terlalu cekung, sehingga pengeraman telur menjadi
tidak sempurna. Usahakan bahan sarang disusun agak mendatar, terutama di bagian
tengah. Sarang yang terlalu lembab (misalnya basah) juga harus segera diganti,
karena bisa menggagalkan proses penetasan telur.
Faktor
keenam adalah temparatur udara, terutama yang berkaitan dengan iklim. Perkutut
merupakan burung endemik yang banyak dijumpai mulai dari Asia Tengah,
Indochina, sampai Asia Tenggara. Ketiga kawasan ini beriklim tropik, dan hanya
mengenal dua musim: hujan dan kemarau.
Pada musim hujan, temperatur udara lebih dingin
daripada musim kemarau. Berdasarkan pengalaman para penangkar, pada musim hujan,
telur lebih sulit menetas daripada di musim kemarau. Fakta ini juga terjadi
pada derkuku, burung yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan perkutut.
Peneropongan Telur
Demikian beberapa faktor penyebab telur perkutut
tidak menetas. Apabila masa pengeraman sudah berlangsung 15 hari atau lebih,
dan telur tidak juga menetas, bisa dipastikan pengeraman gagal. Itu berarti ada
waktu yang terbuang sia-sia, karena menunggu tanpa hasil.
Untuk menghindari kemungkinan buruk tersebut,
sebaiknya kita perlu mengontrol kondisi telur saat pengeraman memasuki
hari
kelima hingga ketujuh. Caranya, saat induk mencari makan, ambil
telur-telur
yang sudah dierami dan periksa dengan bantuan kotak peneropongan telur
(box candling) atau bisa
juga menggunakan senter.Anda bisa membuat sendiri alat peneropong telur
tersebut, bahkan dari kaleng bekas susu kental manis pun bisa.
Letakkan telur hingga menempel lubang kotak atau lampu
senter. Amati bagian dalam dari telur. Jika terlihat ada noktah berwarna merah,
atau agak kehitaman, berarti di dalam telur terdapat embrio. Jika di dalam
telur terlihat bening, berarti tidak ada embrio di dalamnya alias telur infertil.
Jika mendapatkan telur infertil, sebaiknya langsung
dibuang agar waktu tidak terbuang sia-sia. Segera mandikan induk, lalu diberi
suplemen perangsang birahi agar ia mau kawin lagi. Dengan cara demikian, burung
bisa bertelur lagi dalam waktu 1-2 minggu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar